SEKAR ANYAR DALAM CIANJURAN

TEMBANG Sunda cianjuran mulai diperbincangkan kembali terutama setelah munculnya "Sekar Anyar" dalam Pasanggiri Tembang Sunda Damas ke-19 yang berlangsung di gedung Graha Sanusi Unpad Bandung beberapa bulan lalu.
Wacana yang muncul dari fenomena tersebut terkait dengan masalah pro dan kontra di antara para senimannya terhadap lagu-lagu sekar anyar, dan masalah ini sekaligus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika perkembangan tembang Sunda cianjuran. Hampir selama empat bulan lebih, setelah berakhirnya kegiatan pasanggiri Tembang Sunda Damas (25 Desember 2009), keberadaan lagu-lagu sekar anyar terus diperdebatkan mulai dari peristilahannya itu sendiri, masalah ciri-ciri mandiri, isu pembunuhan karakter, sampai pada persoalan apakah laik sekar anyar dimasukkan ke dalam kategori genre tembang Sunda cianjuran. Wacana ini muncul ke permukaan bukan hanya dalam bentuk komentar secara lisan, melainkan juga dalam bentuk tulisan yang dimuat Mangle dalam beberapa kali terbitan.
Diawali oleh tulisan Dian Hendrayana pada Mangle No. 2253 (halaman 12-14) yang berjudul: "Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran Damas XIX Tahun 2009: Pasanggiri Euyeub ku Lalakon Anyar" dan Mangle No. 2254 (halaman 10-12) yang berjudul: "Sekar Anyar: Tetengger Cianjuran Mutahir". Tulisan tersebut merupakan liputan hasil kejuaran pasanggiri Tembang Sunda Damas ke-19, serta dilengkapi dengan penjelasan konsep pasanggiri yang dipandang sangat fenomenal, baik dari sisi penyelenggaraan (adanya dua kategori sekar lawas dan sekar anyar), inovasi materi lagu pasanggiri, maupun adanya pro dan kontra dari masyarakat seniman tembang Sunda cianjuran dalam menyikapi sekar anyar. Setelah itu, kemudian muncul peryataan sikap dari 23 seniman tembang Sunda cianjuran yang pada prinsipnya mengkritisi terhadap penyelenggaraan pasanggiri Tembang Sunda Damas Ke-19 sekaligus menolak keberadaan sekar anyar.
Pernyataan sikap ini tertulis pada Mangle No. 2256 (halaman 16) dengan judul, "Kacindekan jeung Sikep Seniman Tembang Sunda Cianjuran Pikeun Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran Damas". Atas pernyataan sikap dari 23 seniman tembang Sunda cianjuran ini, kemudian Damas pun sama-sama menyatakan pernyataan sikap yang intinya, Damas tidak akan menyelenggarakan lagi pasanggiri tembang Sunda cianjuran, dan akan menyerahkan Piala Sinilih Pancaniti dan Piala Saodah kepada yang berwenang. Dari tulisan-tulisan inilah kemudian muncul beberapa tulisan lainnya yang juga dimuat Mangle, di antaranya tulisan Nano S. yang berjudul "Mairan Istilah Sekar Lawas & Sekar Anyar" (Mangle No. 2263, halaman 26-27); tulisan Yus Wiradiredja, "Tembang Sunda Anu Saha?" (Mangle No. 2264, halaman 8-9); tulisan H.D. Bastaman, "Sekar Lawas-Sekar Anyar-Sekar Duaan" (Mangle No. 2268, halaman 7-9), dan lainnya.
Tulisan-tulisan itu cukup membuktikan, tembang Sunda cianjuran masih mendapat perhatian dari masyarakatnya, dan mereka (para penulis di Mangle), baik yang mendukung maupun yang menolak sekar anyar pada dasarnya memiliki kepedulian dan masih loyal terhadap tembang Sunda cianjuran. Namun, rasa cinta dan kepedulian mereka terhadap tembang Sunda cianjuran ini diekspresikan dengan cara yang berbeda, di satu sisi ada yang mencoba berpikir progresif, dan di sisi lain lebih mementingkan upaya protektif terhadap esensi tembang Sunda cianjuran. Kekhawatiran memudarnya nilai-nilai dan esensi tembang Sunda cianjuran dengan munculnya sekar anyar tampak mewarnai perbincangan di antara para seniman tembang Sunda cianjuran sebagai salah satu alasan untuk menyampaikan penolakannya terhadap sekar anyar. Bahkan ada pula yang beranggapan bahwa dengan munculnya sekar anyar, hal itu secara tidak langsung akan membunuh lagu-lagu tembang Sunda cianjuran seperti: wanda papantunan, jejemplangan, rarancagan, dedegungan, dan wanda kakawen.
Sikap fanatisme dan sikap terbuka terhadap perkembangan seni tradisi merupakan dua hal bersifat paradoks yang sesungguhnya dapat melahirkan keseimbangan antara nilai-nilai dan gejala sosial yang terus berubah akibat perkembangan zaman. Hakikat seni bagi kehidupan umat manusia bukan terletak pada bentuk dan gaya, melainkan terletak pada keberlangsungan fungsinya yang terus bergulir setiap zaman. Namun, antara bentuk, gaya, dan fungsi ini satu sama lain saling ketergantungan. Lahirnya bentuk dan gaya seni merupakan akibat logis dari fungsi seni itu sendiri yang bersandar pada tatanan budaya secara lebih luas. Dengan demikian, perubahan bentuk dan gaya seni sesungguhnya merupakan hal yang biasa, dan ini semata-mata untuk melanggengkan fungsinya, agar seni tersebut bisa hidup di setiap zaman.
Kembali kepada persoalan semula, sekarang bagaimana kedudukan sekar anyar dalam tembang Sunda cianjuran? Apakah lagu-lagu sekar anyar akan dimasukkan ke dalam kategori tembang Sunda cianjuran, atau dipisahkan dari genre tembang Sunda cianjuran? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu ada tinjauan analisis terhadap lagu-lagu sekar anyar, baik berdasarkan ciri-ciri dominan maupun dilihat dari karakter lagu secara keseluruhan. Agar lebih jelas duduk persoalannya, terlebih dahulu perlu disampaikan ciri-ciri dominan dari tembang Sunda cianjuran.
Para seniman tembang Sunda cianjuran mengakui bahwa lagu-lagu tembang Sunda cianjuran memiliki estetika tersendiri yang berbeda dari kawih kepesindenan. Lalu apa sebenarnya yang membedakan kedua jenis sekar tersebut? Perbedaan yang tampak menonjol dari kedua jenis sekar tersebut, terletak pada penggunaan ornamentasi (dongkari) dan cara membawakannya. Penggunaan ornamentasi pada tembang Sunda cianjuran tampak lebih mengikat dan teratur dibandingkan dengan penggunaan ornamentasi pada sekar kepesindenan. Perbedaan ini bukan menyangkut persoalan "mana yang lebih baik atau mana yang lebih enak," melainkan terkait dengan bahasa estetik dari masing-masing jenis sekar tersebut.
Sementara itu, bentuk perwujudan ornamentasi pada lagu-lagu tembang Sunda cianjuran dibangun oleh ketrampilan dan teknik mengolah suara, bukan dihasilkan oleh jalinan dari beberapa nada seperti halnya sering ditemukan dalam sebagian senggol-senggol sekar kepesindenan. Oleh karena itu, cara membawakan ornamentasi dalam tembang Sunda cianjuran sering menggunakan teknik tenaga perut (misalnya, dongkari jekluk), teknik suara dada (misalnya, dongkari gedag, gibeg, dan galasar) dan teknik suara tenggorokan (misalnya, dongkari beulit, riak, leot, dan golosor). Dari dongkari-dongkari tersebut, baik dilihat dari bentuk perwujudan maupun cara dan teknik membawakannya, dapat terbangun suasana dan karakter lagu-lagu tembang Sunda cianjuran yang terasa gagah, tegas, sedih, dan romantis. Dengan demikian, keberadaan dongkari dalam tembang Sunda cianjuran merupakan hal pokok yang menjadi ciri pembeda dari jenis-jenis sekar lainnya.
Sekarang bagaimana dengan lagu-lagu sekar anyar, apakah dongkari-dongkari pada lagu-lagu sekar anyar berbeda dengan dongkari-dongkari pada lagu-lagu tembang Sunda cianjuran? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat hasil pengamatan berikut ini. Ada 18 lagu sekar anyar (9 lagu mamaos dan 9 lagu panambih) yang terdapat pada CD Sekar Anyar: Katresnan Kana Cianjuran. Lagu-lagu tersebut berjudul: (1) "Kalindih-Ilang" (Ciptaan Ubun Kubarsah dan Ganjar Kurnia); (2) "Wegah-Sajeroning Sindang" (ciptaan Ubun Kubarsah dan Yayat Hendayana); (3) "Silih Asih-Nganteng" (ciptaan Ubun Kubarsah dan Yayat Hendayana); (4) "Amanah-Mustika Katulistiwa" (ciptaan Ubun Kubarsah dan Zahir Zachri); (5) "Bentang Kuring-Ukur Cimata" (ciptaan Ubun Kubarsah dan Eddy D. Iskandar); (6) "Srikandi Kiwari-Mayang Sunda" (ciptaan Euis Komariah dan Etti RS); (7) "Munara Sirna-Gupay Samoja" (ciptaan Yus Wiradiredja dan Dian Hendrayana); (8) "Sagara-Katresna" (Ciptaan Yus Wiradiredja dan Etti RS); dan (9) "Nyawang Tangtungan-Sangkuring" (ciptaanYus Wiradiredja dan Dian Hendrayana).
Setelah diamati, lagu-lagu yang terdapat pada CD tersebut pada prinsipnya masih berada pada koridor tembang Sunda cianjuran terutama bila dilihat dari penggunaan dongkari-dongkari tembang Sunda cianjuran. Untuk sementara ini, jenis-jenis dongkari pada tembang Sunda cianjuran baru teridentifikasi sebanyak tujuh belas dongkari. Bila dilihat dari penggunaan dongkarinya, lagu-lagu sekar anyar pada umumnya tidak ada yang menyimpang dari tujuh belas dongkari tersebut. Namun, untuk bisa dirasakan apakah sebuah lagu tersebut masuk pada genre tembang Sunda cianjuran atau bukan, tidak cukup hanya dilihat dari penggunaan dongkarinya, tetapi perlu juga dilihat bagaimana hubungan antarsetiap dongkari yang digunakannya. Dalam lagu-lagu tembang Sunda cianjuran (papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, dan kakawen) selalu terdapat ornamen pokok. Yang dimaksud dengan ornamen pokok adalah gabungan dari dua atau lebih dongkari yang diterapkan pada satu suku kata (misalnya, gabungan dari dongkari riak-beulit-inghak; gibeg-riak-beulit; riak-gedag-jekluk; atau dua jenis dongkari yang digabungkan seperti: riak-beulit; gedag-jekluk; dan beulit-kait). Perlu diingat bahwa ornamen pokok ini merupakan bagian dari keindahan lagu-lagu tembang Sunda cianjuran.
Bila merujuk pada kaidah itu, tidak ada alasan untuk menolak lagu-lagu sekar anyar masuk ke dalam koridor tembang Sunda cianjuran, meskipun di antara sekian banyak lagu tersebut, ada satu lagu yang tampak menyimpang, yaitu lagu Wegah. Penyimpangan ini bukan terletak pada penggunaan dongkari-dongkarinya, melainkan terletak pada penggunaan ornamen pokoknya. Secara keseluruhan, lagu Wegah menggunakan tujuh jenis dongkari, yaitu: gedag, gibeg, golosor, ombak (istilah Yus Wiradiredja).
Kembali kepada permasalahan pokok, apakah sekar anyar laik dimasukkan ke dalam genre tembang Sunda cianjuran? Sekar anyar sangat laik masuk pada genre tembang Sunda cianjuran. Hal ini didasari oleh sejumlah alasan. (1) Lagu-lagu sekar anyar secara prinsip tidak melanggar kaidah estetika tembang Sunda cianjuran khususnya dilihat dari penggunaan dongkari. (2) Dilihat secara keseluruhan, penyajian lagu-lagu sekar anyar masih merujuk pada etika dan estetika tembang Sunda cianjuran, baik dilihat dari bentuk pirigan maupun penggunaan lirik lagunya. (3) Dari sembilan lagu mamaos sekar anyar hanya ada satu lagu yang dipandang sedikit menyimpang khususnya dilihat dari penggunaan ornamen pokok, namun sangat tidak bijaksana bila kasus ini digeneralisasikan untuk menilai keberadaan lagu-lagu sekar anyar. (4) Sekar anyar dapat menambah kekayaan perbendaharaan lagu-lagu tembang Sunda cianjuran demi kesinambungan tembang Sunda cianjuran di masa mendatang. (5) Hidupnya tembang Sunda cianjuran hingga saat ini, disebabkan adanya kreativitas dari para senimannya, dan sekar anyar merupakan salah satu produk kreativitas dari para seniman tembang Sunda itu sendiri. Berdasarkan alasan itu, sekar anyar perlu diposisikan secara jelas, apakah keberadaannya tergolong pada wanda rarancagan, atau diposisikan sebagai wanda baru dalam tembang Sunda cianjuran yang diberi nama tersendiri? ***
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=151783
HERI HERDINI , dosen di STS Bandung, seniman cianjuran.

Wanda Baru Cianjuran

FENOMENA sekar anyar dalam dunia seni cianjuran sungguh mengejutkan. Kehadirannya telah mengusik hati seniman cianjuran. Di antara mereka ada yang mendukung, yang ragu-ragu, dan ada pula yang menolak dan bahkan mencibir. Kendati begitu, kehadiran sekar anyar di tahun 2009 telah membuka mata, bahwa ada sesuatu yang baru dalam seni cianjuran.

Di antara mereka yang menolak kehadiran sekar anyar, mempertanyakan hendak dimasukkan ke wanda apakah lagu-lagu dalam sekar anyar? Mereka seakan sepakat bahwa lagu-lagu dalam sekar anyar sama sekali tidak memiliki sifat-sifat wanda yang telah dimiliki seni cianjuran, yakni, papantunan, jejempla-ngan, dedegungan, rarancagan, serta kakawen. Lalu apakah sekar anyar harus disebut sebagai "anakjadah"? Atau bahkan sekar anyar telah menemukan jati dirinya dalam wanda yang baru dalam seni cianjuran?

Yang pasti, dalam sejarahnya, sejak dikreasikan oleh Kangjeng Dalem Pancaniti di pertengahan abad XIX hingga perkembangan mutakhir di awal abad XI, cianjuran telah mencatat perkembangannya yang cukup panjang. Dari data dokumentasi audio, cianjuran yang sempat direkam 1920-an, seni cianjuran telah mengalami pergeseran, setidaknya hingga akhir abad XX. Pergeseran tersebut terdengar pada waditra, pirigan, serta lagu. Hingga periode sebelum kemerdekaan, pernbahan tersebut cukup progresif. Sementara setelah masa revolusi, perkembangannya tampak evolutif. Namun, pada 2009, dengan adanya materi sekar anyar masyarakat cianjuran dibuat terenyak. Wujudnya seperti tidak sama dengan lagu cianjuran yang sudah ada, tetapi sejatinya sekar anyar sungguh berjiwa cianjuran.

Wanda Baru Cianjuran
TAK ada ungkapan yang lebih hihung dari masyarakat seni cianjuran bagi Kangjeng Dalem Pancaniti, kecuali rasa terima kasih yang setinggi-tingginya serta rasa hormat yang seluhur-luhurnya. Beliaulah, RAA Kusumaningrat, bupati Cianjur (1834-1864), yang meletakkan dasar-dasar seni cianjuran yang hingga kini masih terdengar dan bisa dinikmati bangsa luar.

Predikat bupati yang linuhung tak syak lagi dialamatkan kepadanya berkat kreativitas meracik seni pan-tun yang begitu mengakar sejak sebelum abad XVI, menjadi seni baru yang kemudian oleh masyarakat seni cianjuran dinamai sebagai lagu pan-tun, pajajaran, hingga akhirnya papantunan. Dikatakan demikian karena lagu-lagu racikan Kangjeng Dalem tersebut diambil dari satu fragmen cerita pantun Mundinglaya Di Kusumah yang saat itu telah dikenal luas di masyarakat Sunda. Bahkan sejak zaman Dalem Wiratanudatar I pun, seperti yang ditulis Enip Sukan-da (197521) seni pantun telah masuk ke lingkungan padaleman.

Pemilihan fragmen Pantun Mungdingaya Di Kusumah dengan mengambil episode Mungdinglaya terbang Vsjabaning langit hingga pulang kembali ke bumi dengan membawa Mayang salakadomas, tentu saja berdasarkan kebutuhan dan kepentingan yang begitu kuat Boleh jadi "kebutuhan" tersebut mencuat karena dalam episode tersebut merangkum nilai perjuangan dan filsafat hidup (seperti terkrea-sikan pada lagu Pangapungan), cinta kasih (Mupukembang, Rajamantri, Putri Ninun, Putri Layar, Kaleon, Mangu-mangu, Balagenyat, Manyeuseup), serta pemuliaan terhadap nikmat yang diberikan dari Yang Mahakuasa (Nataan Gunung).

Perlu digarisbawahi bahwa jauh sebelum lahir penciptaan dari buahtangan Kangjeng Dalem Pancaniti, di Cianjur telah hidup seni beluk, de-gung, kawin pawayangan, tembang wawacan, tembang rancag. Seni-seni tersebut, pada masa-masa setelah kepergian Kangjeng Dalem Pancaniti atau pada masa pemerintahan Prawiradiredja II (1864-1910), dijadikan pula sumber inspirasi untuk melahirkan seni kreasi baru dengan gaya yang telah ditorehkan oleh Kangjeng Dalem Pancaniti. Lagu-lagu kreasi tersebut kemudian dikenal sebagai jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan. Itulah lagu-lagu yang terbilang anyar hingga 1920-an.

Hingga 1920, paling tidak di Cianjur telah berkembang lagu-lagu kreasi baru berbentuk papantunan, jejemplangan, dedegungan, kakawen, serta rarancagan. Baru pada 1978, ketika Damas menyelenggarakan Pasanggiri Tembang Sunda ke-8, terhadap kelompok lagu-lagu tersebut diberikan istilah wanda. Pelo-pornya adalah Enip Sukanda dan Ubun Kubarsah. Bahkan hingga kini, istilah wanda tersebut telah menjadi istilah paten untuk membedakan silsilah kelompok lagu yang satu dengan kelompok lagu lainnya.

Lagu-lagu yang telah dikreasikan sejak zaman Dalem Pancaniti, Dalem Prawiradiredja II, hingga Dalem Wiranatakusumah V, hingga tahun 20-an begitu populer dan terus dilan-tunkan di lingkungan kadaleman Cianjur. Bahkan hingga tahun 30-an, lagu-lagu yang tumbuh dan berkembang di Cianjur tersebut menjalar ke daerah sekeresidenan Priangan. Maka, sejak saat itu masyarakat di luar Cianjur (terutama Bandung, Garut, Sumedang, Ciamis, dan Tasikmalaya), mengenali dan mampu melantunkan seni suara yang tumbuh dan berkembang di Cianjur tersebut. Masyarakat di luar Cianjur, terhadap seni tersebut menamakan-nya dengan istilah cianjuran.

Memasuki zaman perang kemerdekaan, seni cianjuran terhenti sama sekali. Tak lagi terdengar seniman yang melantunkan papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, serta panambih. Baru di awal 1950, seni cianjuran bersemi kembali. Tidak di Cianjur, melainkan di Bandung. Adapun penggeraknya adalah organisasi kesundaan yang di antaranya terdapat Nonoman Sunda dan Daya Mahasiswa Sunda (Damas).yang memelopori kembali kongkur (pasanggiri) melantunkan seni cianjuran. Tertutama pasanggiri yang diselenggarakan Damas, hingga 2009 telah dilaksanakan yang kesembilan belas kalinya.

Dalam perkembangannya pasca 1950-an, muncul lagu-lagu ciptaan baru yang lahir di Bandung atau di luar Cianjur dengan menggunakan gaya cianjuran. Terhadap lagu-lagu baru yang muncul di Bandung dengan menggunakan gaya cianjuran, banyak seniman Cianjur yang tidak suka. Bahkan marah dan mencaci maki, Itu adalah lagu jadah!"

Namun, para seniman cianjuran yang berdomisili di luar Cianjur pun bergeming. Mereka terus mencipta. Dan mereka menganggap lagu cip-taanya tetap bersandar pada gaya cianjuran. Tercatat beberapa seni man di antaranya Nyi Mas Saodah, Hj. Siti Rokayah, Idi Rosadi, Engkos, Entip Swarakusumah, Sumekar, Emeh Salamah, R. Surmen, Hadori, Ahmad, Endoh, Jaya Surana, Apung S.W., Suwarna, Ubun Kubarsah, Dede Mona, hingga Asep Kosasih. Kecuali pada beberapa lagu Ubun Kubarsah, seperti pada lagu Bentang Kuring, serta pada beberapa lagu panambih, tampak ada nilai kebaruan dan orisinalitas. Dalam lagu ma-maos Bentang Kuring, pada beberapa segmen Ubun sudah tidak lagi menggunakan ornamen yang telahada dalam gaya cianjuran, tetapi Ubun telah mencoba menjelajahi wilayah motif galideng baru yang belum terjamah seniman cianjuran lain. Ubun juga dengan begitu sadar tidak menggunakan bahan dangding untuk dijadikan lagu mamaos.

MANG Koko kerap menyebut bahwa lagu-lagu cianjuran ciptaan pasca 1950-an dengan istilah kembaran. Itu artinya, lagu-lagu baru yang tercipta belakangan hanya merupakan kembaran (duplikasi) dari lagu-lagu yang sudah ada. Proses kreatif yang kontraproduktif. Sesungguhnya ini adalah kenyataan yang cukup pahit di wilayah proses kreatif, namun apa boleh buat, fakta telah mengatakannya demikian.

Menurut Ubun Kubarsah, komposisi kembaran terjadi akibat penggunaan dangding. Keberadaan dangding telah menyumbat kreativitas. Kangjeng Dalem Pancaniti ketika mencipta lagu-lagu papantunan sama sekali tidak terbius dengan kehebatan karya sastra berbentuk dangding yang saat itu tengah digandrungi.

Itu pulalah yang kemudian diadopsi oleh Ubun Kubarsah dalam mengkreasi lagu lagam cianjuran gaya baru serta diberi istilah sekar anyar. Istilah tersebut kemudian dilegalisasi oleh Damas guna memberi label pada lagu wanda anyar yang pada kesempatan Pasanggiri Cianjuran Damas ke-19 dijadikan materi pasanggiri.

Lagu-lagu baru ciptaan Ubun Kubarsah pada sekar anyar adalah lagu-lagu yang diracik menggunakan gaya cianjuran, dengan memberikan harga-harga melodi pada setiap suku kata, kata, frase, klausa, hingga kalimat yang tersurat pada teks. Lagu Kapati-pati yang begitu populer dalam cianjuran adalah lagu bertemakan "pedih karena cinta tak sampai". Kepedihan tersebut sung-guh terasa dari komposisi melodi yang menyayat dan menjerit-jerit, ditingkahi dengan teks (pupuh Sinom) yang berbunyi /Hayang ceurikjejeritan/ sing tarik marxnan langit....//. Kepaduan antara unsur teks dan musikalitas yang begitu sub-lim pada lagu Kapati-pati, serta-merta akan luluh lantak dan berantakan manakala teksnya diubah dengan /Sareupna lebah labuan/pa-mayang muru basisir....//. Teks Sareupna lebah labuan, pamayang muru basisir sama sekali tidak menyiratkan kepedihan yang menyayat dan menjerit-jerit. Di situ tak ada indikator bahwa teks sareup-na lebah labuah harus dibunyikan dengan melodi yang menjerit.

I Benang merah yang terus merambat (berkesinambungan) sejak papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, serta kakawen yang telah begitu dikenal dalam cianjuran, sejatinya bisa ditemukan pula dalam sekar anyar. Sari-sari lagu papantunan hingga kakawen kerap ditemui pada beberapa motif galindeng dalam SA. Sari-sari lagu itu seperti merambat, dari saban periode. Konsep "merambat" dari papantunan hingga lagu-lagu baru pada sekar anyar, memang merupakan konsep garap yang dilakukan Ubun dalam melahirkan lagu-lagu gaya cianjuran warna baru. Jika saja pengamat cianjuran H.D. Bastaman menawarkan istilah wanda rekasari, wanda rundayan, atau wanda karancagen untuk konsep lagu baru milik Ubun, tampaknya istilah wanda rambatan pun perlu dikedepankan. Ya, wanda rambatan. Lalu nama-nama wanda baru tersebut kita bedah bersama dalam bentuk kajian, dengan pikiran jernih dan tidak terburu emosi.***

DIAN HENDRAYANA, Pikiran Rakyat 08 Aug 2010

Duet Ubun Kubarsyah dan Ganjar Kurnia di 'Syair Keur Syiar'


Avitia Nurmatari - detikBandung


Bandung - Universitas Padjadjaran bekerjasama dengan Bank bjb menggelar 'Syair Keur Syiar'. Penonton akan disuguhkan lagu-lagu garapan komposer ternama di Jabar Ubun Kubarsah dari rumpaka (syair lagu-red) ciptaan Rektor Unpad Ganjar Kurnia.

Menurut Ganjar, gagasan untuk membuat pementasan lagu-lagu islami karyanya itu dimaksudkan untuk menysiarkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan melalui musik.

"Pada dasarnya ini hanya untuk memperkenalkan saja, dan terlebih untuk menyampaikan pesan-pesan islam yang terkandung di dalamnya kepada halayak," ujar Ganjar dalam rilis yang diterima detikbandung, Minggu (23/1/2011).

Ganjar yang sejak 2004 sudah aktif menulis syair menilai, mungkin karena tidakbiasaan syair ini yang membuat karyanya menjadi perhatian. Lirik-liriknya diambil dari berbagai sudut, mulai dari pengalaman hidup, kejadian-kejadian di dunia nyata hingga sejarah Nabi Muhammad SAW.

Hidangan seni ini berbeda dengan nasyid, untuk mengerti dan menghayatinya tidak cukup hanya didengarkan, tapi juga dibaca syairnya. Syair-syair yang dilantunkan ada yang terinspirasi dari kejadian alam seperti benvana tsunami, dan beberapa cerita nabi.

Ubun Kubarsah selaku komposer mengakui bahwa menggarap karya Ganjar menjadi sebuah karya musik merupakan tantangan tersendiri. Keduanya sepakat untuk menghasilkan musik yang berbeda dari yang telah ada.

"Ini pekerjaan yang menantang buat saya. Rumpaka ciptaan Ganjar ini sedikit berbeda, tidak biasa tepatnya. Saya memutuskan untuk mencoba empat karakter warna dalam lagu-lagu ini," ujar Ubun.

Sedikitnya ada sekitar 10 lagu yang akan dimainkan dalam pementasan nanti. Judul lagu-lagu tersebut di antaranya Kun Fayakun, Adzan Mungaran, Rosul Pinilih, Warta Ti Sidratul Muntaha, Qiyamah, Sakaratul Maut, Titis Tulis Tobat, dan lainnya.

Kesemua lagu karya Ganjar dan Ubun ini akan dilantunkan oleh beberapa penyanyi tembang sunda seperti Neneng Dinar, Elis Rosliani, Rosyanti, dan lainnya.

Sya’ir dan Syi"ar


Genep Mangsa sakedet netra 
Alloh nyipta dunya

Langit diluhurkeun
Ngagantung estu sampurna

Peuting dilanteraan
Ku gurilap bentang jeung bulan ....
Kun fayakun - kun fayakun

DEMIKIAN penggalan syair berjudul "Kun Fayakun" karya Ganjar Kurnia. Untaian rumpaka (kata) dalam syair itu sebenarnya terdiri atas beberapa bagian. Namun dengan hanyamenyimak satu bagian, muatan pesan yang ingin disampaikan penyair dalam rangkaian rumpaka itu, terasa beritu pekat muatan dakwahnya.
Sebagai sebuah karya sastra, syair berjudul "Kun Fayakun" ini, menggunakan diksi yang harmoni. Seperti pemilihan kata diluhurkeun ngagantung, dilanteraan gurilap.
Hal itu lebih dikuatkan lagi dengan pemakaian kata kun fayakun yang notabene merupakan bahasa Alquran dan sangat jarang digunakan dalam sebuah syair. Namun penyair justru sengaja menggunakan kata itu sebagai penegas dari muatan dakwah yang ingin disampaikannya.
Dia (penyair-red.) tidak menggunakan kata-kata bersayap ataupun analogi seperti pada kata-kata yang dirangkai sebelumnya. Akan tetapi, kata-kata yang semua pembaca mafhum bahwa kata itu hanya berarti satu. Kun fayakun (Jadi maka jadilah).
Fakta karya ini dikuatkan oleh realitas penyair. Ganjar Kurnia pada diskusi terbatas pengantar pementasan di Redaksi Galura, Senin (17/1) mendedahkan, posisi kesenian dalam konteks kepentingan dakwah telah lama diperdebatkan. Namun terlepas dari diskursus pro dan kontra tentang posisi kesenian dalam Islam, Ganjar mengaku dirinya sebagai salah satu orang yang pro dengan kesenian sebagai media dakwah.
Dalam "Sya`ir keur Syi`ar" ini Ganjar ingin memberikan warna baru dalam ranah musik Islami, yang selama ini notabene garapan warna musiknya lebih banyak terpengaruh musik Timur Tengah. "Jadi, cik atuh da Islam teh aya di mamana. Piraku di Sunda ge teu bisa aya musik nu islami," ujarnya.
Pementasan "Sya`ir keur Syi`ar" akan digelar di Bale Rumawat, Minggu (23/1), mulai pukul 14.00 WIB. Pementasan ini dikemas Ubun R. Kubarsyah dalam bentuk kacapi patareman. Dengan menghadirkan para penembang petingan seperti Neneng Dinar, Elis Rosliani, Rosyanti, Dini Andriani, Novi Aksmiranti, Ujang Supriatna, Mustika Imam, dan Tedi Sudiarto. Pamirig dikerjakan Yusdiana, Gangan Gumilar, Iwan Mulyana, dan sebagai penata musik dikerjakan Yusdiana.
Selain "Kun Fayakun", ada sembilan rumpaka syair lain karya Ganjar Kurnia yang akan dipersembahkan pada pergelaran ini, antara lain "Adzan Munggaran", "Rosul Pinilih", "Kalindih", "Warta Ti Sidratul Muntaha", "Tanceb Kayon", "Sakaratul Maot", "Titis Tulis", "Qiyama", dan "Tobat".
Bagi Ubun, mengerjakan pertunjukan seperti ini, memang bukan hal pertama. Sebelumnya, penggagas Tembang Bandungan ini, bersama Eddy D. Iskandar dan Zahir Zachri telah menciptakan komposisi lagu dua karya syair Ganjar Kurnia berjudul "Sakaratul Maot" dan "Tanceb Kayon".
Kedua lirik dalam syair tersebut, menurut Ubun, sangat pas untuk konsep musikal tembang bandungan. Tanpa ada perubahan apapun kecuali pandangan yang berbeda dalam hal menempatkan antara frase verbal dengan frase musikal yang kadang berbeda tafsir.
Hal yang menarik di samping kekuatan pesan dalam rumpaka karya Ganjar, menurut Ubun, adanya ungkapan diksi baru yang jarang digunakan dalam khasanah rumpaka tembang maupun kawih sunda konvensional. Keberanian untuk memilih kata yang biasa digunakan dalam bentuk sajak, secara togmol digunakan pula untuk syair lagu. Hal ini bagi Ubun, menjadi tantangan baru untuk komposer dalam menciptakan lagu.
Puncak kolaborasi Ubun dengan Ganjar Kurnia hampir menemukan bentuknya pada garapan opera Sunda "Cisoca Singa Sahara", ketika kekuatan penulis naskah dapat merangsang ekspresi musikalitas.
**
DALAM khazanah kesusastraan, syair sebetulnya tergolong ke dalam jenis puisi lama. Syair berasal dari Persia . Kata syair berasal dari bahasa Arab syu`ur yang berarti perasaan. Kata syu`ur berkembang menjadi kata syi`ru yang berarti puisi dalam pengertian umum.
Sedangkan syair dalam kesusastraan Melayu merujuk pada pengertian puisi secara umum. Namun dalam perkembangannya syair tersebut mengalami perubahan dan modifikasi sehingga menjadi khas Melayu, tidak lagi mengacu pada tradisi sastra syair di negeri Arab.
Sebagai penyair yang tergolong "nyleneh", Ganjar mengubah sedemikian rupa batasan syair menjadi semacam puisi (sajak) seperti sekarang. Baik dalam pemilihan rumpaka maupun tipografi syair, syair karya Ganjar keluar dari pakem-pakem syair. Akan tetapi ia tetap berpegang teguh pada pesan (muatan) yang ingin disampaikan dari syair, yakni sebagai media dakwah.
Syair memang terbagi ke dalam berbagai macam, salah satunya adalah syair agama. Syair agama dibagi menjadi empat yaitu, syair sufi, syair tentang ajaran Islam, syair riwayat cerita nabi, dan syair nasihat. Jenis-jenis syair ini mempunyai pesan tertentu. Dan Ganjar menyampaikan semua pesan itu dalam bentuk syair "kekinian".
Dengan spirit yang sama, sebelumnya, Ganjar juga telah mengerjakan gending karesmen bermuatan dakwah berjudul "Nyuuh I" dan "Nyuuh II". Dalam gending karesmen ini, Ganjar "mengawinkan" bentuk teater modern dengan drama tradisional Sunda.
Pesan-pesan yang disampaikan pun lebih berbeda dengan pesan-pesan yang disampaikan gending karesmen pada umumnya. Pesan gending karesmen Ganjar, lebih menyentuh pada persoalan-persolan urban perkotaan yang sedang menjadi bagian dari fenomena kehidupan masyarakat Sunda saat ini.
Ubun R. Kubarsyah selaku musisi mengatakan, syair-syair Ganjar Kurnia memiliki karakteristik khas. Banyak diksi yang unik dan liar, tetapi isinya menyentuh pada persoalan mendasar. "Dari rumpaka yang liar dan unik ini, justru kita bisa menangkap pesan yang sarat pesan akan nilai-niali dakwah," ujarnya.
Bila di dalam khazanah sastra Indonesia kita sering mendengar istilah musikalisasi puisi maka pada pergelaran "Sya`ir keur Syi`ar" ini, kita akan menikmati suguhan rumpaka tembang yang diketengahkan dalam pertunjukan kacapi patareman. Akankah keindahan suara penembang, lengking suling, dan rincik kacapi memberi nilai sakral pada pergelaran ini? Bagaimana seorang Rektor berkolaborasi dengan musisi dalam mengemas seni rumpaka dan tembang ini sebagai media dakwah? Akankah berhasil? Tampaknya, minggu pekan Anda akan rugi bila tidak menyaksikan pergelaran ini. (Eriyanti/"PR")

Menggagas Tembang Bandungan

Laporan utama Khazanah Pikiran Rakyat édisi Saptu, 8 Oktober 2005

(http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/08/khazanah/utama02.htm)

"Nilai-nilai tradisi harus berkelanjutan. Berkesenian adalah sebuah proses kreatif, di dalamnya terkandung 'kehendak' untuk terus dan terus mencari kedalaman hidup dengan penuh makna. Kreasi ini, merupakan wujud kreativitas mengusung nilai-nilai tradisi dalam ungkapan masa kini. Setidaknya sebagai upaya untuk merajut kembali benang tradisi --menata ulang ruang identitas...."

SAYA dibesarkan dalam lingkungan seni tradisi Sunda, khususnya seni tembang Sunda cianjuran. Selama menekuni dan teuteuleuman di leuwi tembang Sunda, saya benar-benar bisa menikmati keindahan dan kesempurnaan tembang Sunda cianjuran. Bagi saya, tembang Sunda cianjuran adalah sebuah puncak karya seni vokal Sunda masa lalu yang sangat mapan dan telah teruji oleh masa dan mampu bertahan menembus waktu. Usianya telah melampaui satu abad lebih sejak terbentuk pada awal abad XIX di Kabupaten Cianjur.
Tembang Sunda cianjuran telah menjadi kebanggaan bagi para pengikut dan pendukungnya, dan kadang menumbuhkan fanatisme yang sangat mendalam. Tumbuhnya fanatisme itu menjadikan tembang Sunda cianjuran menghadapi kondisi stagnan dalam kreativitas, dan seakan-akan tertutup rapat bagi pengayaan serta pengembangannya. Namun di sisi lain, sifat ketertutupan ini akan sangat baik bagi upaya melembagakan serta menjaga kemurnian dan kelestarian tembang Sunda cianjuran.
Berkaitan dengan upaya kreativitas dalam tembang Sunda cianjuran, masih banyak yang berpandangan bahwa mencipta bentuk-bentuk kreativitas semacam apa pun kemungkinannya tidak akan lebih baik daripada bentuk aslinya. Oleh karena itu, kreativitas yang selama ini terjadi dalam tembang Sunda cianjuran, hanya terbatas pada produktivitas menambah jumlah penciptaan lagu-lagu baru, yang materi lagunya terasa hampir mirip dan sama, serta tidak lepas dari patokan dan ciri wandakecianjurannya. Hal seperti itu saya alami ketika mengubah beberapa lagu tembang Sunda cianjuran untuk jenis mamaos dan panambih-nya.
Kemandekan kreativitas dalam dunia tembang Sunda setelah lebih dari satu abad kelahirannya, benar-benar sangat menggelisahkan saya. Betapa tidak, di satu sisi memang kita masih melihat kehadiran komunitas penggemar seni tembang Sunda cianjuran, tetapi jumlahnya terus semakin mengecil. Sementara itu, konservativisme para pendukung dan pengikutnya ternyata tidak mampu mendongkrak minat masyarakat untuk meminati seni tembang Sunda, kalau tak hendak dikatakan ditinggalkan masyarakatnya.
Kegelisahan inilah yang mendorong saya untuk menggagas bentuk baru tembang dan kawih Sunda.
Melewati perjalanan waktu yang tidak sebentar dan penjelajahan saya dalam ruang musikalitas tembang Sunda, saya mencoba menggagas karya seni yang saya beri nama "Tembang Bandungan". Gagasan ini merupakan upaya untuk ngajembarkeunkhazanah kesenian tradisi Sunda umumnya dan khususnya dalam khazanah tembang Sunda. Kelahirannya diharapkan akan dapat menjadi tonggak baru kreativitas dunia seni tembang Sunda dari Tatar Bandung, lemah sarakan, kota tempat saya dilahirkan dan sekaligus menjadi kota tempat kelahiran seni tembang bandungan yang saya gagas.
"Bandungan" dalam pengertian bahasa sunda adalah regepkeun, titenan(memperhatikan). Tembang bandungan dapat diartikan tembang yang menuntut perhatian, kadariaan atau keseriusan bagi siapa saja yang akan meminatinya.
Penamaan istilah bandungan pada tembang Bandungan-pun disebabkan adanya keterkaitan yang sangat erat dengan latar belakang kehidupan dan kondisi lingkungan Tatar Bandung sebagai kota pemberi inspirasi kepada penggagas. Dalam hal ini, saya ingin mengungkapkan, "Bandung sebagai kota monumental yang mewujudkan hasil karya tembang Bandungan --Bandung anu jadi indung beurang-na, Bandung anu marajian gelar-na."
Konsep estetika tembang bandungan berangkat dan bertitik tolak dari keunggulan "roh" (daya hidup) dan "tamperan rasa" yang menjadi esensi tembang Sunda cianjuran yang dipadukan dengan sifat "keterbukaan dan keluasan musikalitas" dari kawih Sunda. Keunggulan dari kedua genre musik Sunda ini sengaja dipadukan menjadi sebuah harmoni khas tembang bandungan. Sebagai bentuk seni pertunjukan musik (ensamble), tembang bandungan dirancang dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Antara lain, teknik vokal, komposisi musikal,rumpaka, dan fungsi waditra sebagai alat musik pengiringnya.
Pada dasarnya ciri umum tembang bandungan terdiri dari dua bentuk lagu atauwangunan yaitu wangunan lagu tembang yang saya beri nama mamaras atau dalam tembang cianjuran disebut mamaosWangunan lagu panganteb atau dalam tembang Sunda cianjuran biasa disebut panambih. Bentuk melodi lagu tidak menggunakan dominasi dongkari atau ornamen tembang cianjuran. Ornamen pada kontur melodinya sangat sederhana. Ornamen digunakan hanya untuk menajamkan sentuhan rasa (tamperan rasa tembang), tetapi tidak untuk menampakan ciriwandawanda-wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih seperti pada tembang Sunda cianjuran. tembang cianjuran. Oleh karena itu, tembang Bandungan tidak mengenal
Pada beberapa materi lagu tembang bandungan terdapat struktur dan bentuk melodi baru yang tidak biasa digunakan dalam tembang Sunda cianjuran (tampak pengaruh musikal di luar tembang Sunda cianjuran, antara lain nuansa seriosa, kawih, beluk,dan teknik vokal lainnya).
Penyajian repertoar lagunya sebagai berikut. Wangunan lagu mamaras disajikan berdiri sendiri tanpa lagu pangantebWangunan lagu panganteb disajikan berdiri sendiri tanpa diawali lagu mamaras. Gabungan wangunan lagu mamaras dan lagupanganteb (setiap lagu dalam wangunan mamaras telah ditentukan lagu untukpangantebnya. Contohnya lagu "Parahyangan Kiwari" diteruskan dengan lagu "Hanjakal" sebagai panganteb-nya. Demikian pula pada lagu "Citangis Aceh", diteruskan pada lagu "Tawekal" sebagai panganteb-nya).
Dalam hal ini, lagu mamaras dan lagu panganteb punya kedudukan yang sama (merupakan satu kesatuan). Yang membedakannya hanya irama atau bentuk lagunya.
Penyajian komposisi pirigan dan waditranya seperti berikut. Di samping polapirigan yang biasa digunakan dalam tembang Sunda cianjuran, saya ciptakan polapirigan baru dan gelenyu-gelenyupirigan khas tembang bandungan. Waditratembang bandungan terdiri dari kacapi indung, kacapi rincik, suling, biola, dankacapi mayung (waditra baru yang sengaja saya ciptakan). khusus bandungan. Hal ini saya lakukan untuk menemukan kebaruan dan orisinalitas
Penyajian rumpaka pada tembang bandungan berbentuk sajak bebas (tidak berpola pupuh) yang telah dikhususkan untuk mengangkat tema-tema aktual, kehidupan spiritual, alam, serta fenomena sosial lainnya.
Pada tahap awal penciptaan, telah saya selesaikan 21 komposisi lagu tembang bandungan dalam laras sorog, pelog, dan salendro. Pada seri perdana ini, saya sajikan 12 lagu mamaraspanganteb berlaras sorog. Lagu-lagu lainnya berlaras pelog dan salendro akan tersaji pada seri tembang bandungan berikutnya.

Keunikan Duet Ubun Kubarsah – Ganjar Kurnia di Syair Keur Syiar

Laporan oleh: Malikkul Shaleh

[Unpad.ac.id, 18/01/2011] Sebagai ajang pembukaan tahun 2011, Pidangan Seni Rumawat Padjadjaran akan hadir dengan pementasan Kompilasi Lagu Sunda Islami yang berjudul “Syair Keur Syiar”. Acara yang akan diadakan di Bale Rumawat Padjadjaran pada 23 Januari 2011 ini akan menyuguhkan lagu-lagu garapan komposer ternama Jawa Barat, Ubun Kubarsah dari rumpaka (syair lagu) ciptaan Ganjar Kurnia. Kendati banyak menimbulkan perdebatan di kalangan penggiat musik karena ketidakbiasaan karya Rektor Unpad tersebut, pentas ini layak untuk dinanti.
Ubun Kubarsah (bertopi) dan Ganjar Kurnia (kanan) saat berbincang dengan kalangan seniman dan media massa terkait pementasan Syair Keur Syiar (Foto: Malikkul Shaleh)*
Dalam diskusi bersama media massa di Ruang Rapat Redaksi Koran Sunda Galura, Jalan Belakang Factory, Bandung, Ganjar Kurnia sebagai pemrakarsa acara mengatakan bahwa gagasan untuk membuat pementasan lagu-lagu islami karyanya itu dimaksudkan untuk mensyiarkan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan melalui musik.
“Pada dasarnya ini hanya untuk memperkenalkan saja dan terlebih untuk menyampaikan pesan-pesan islam yang terkandung didalamnya kepada khalayak,” ujar Ganjar yang sejak 2004 sudah aktif menulis syair itu.
Ganjar menilai, mungkin karena ketidakbiasaan rumpaka ini yang membuat karyanya menjadi perhatian. Lirik-liriknya diambil dari berbagai sudut, mulai dari pengalaman hidup, kejadian-kejadian didunia nyata dan dari sejarah Nabi Muhammad SAW.
“Ini berbeda dari nasyid. Untuk mengerti dan menghayatinya tidak cukup hanya didengarkan, tapi juga dibaca syairnya. Syairnya ada yang terinspirasi dari kejadian alam seperti bencana tsunami, kejadian-kejadian seperti mengumandangkan adzan saat kelahiran bayi dan beberapa dari cerita nabi. Intinya ini adalah syiar tentang ajaran-ajaran Islam,” ungkapnya.
Ubun Kubarsah sendiri mengakui bahwa menggarap karya Ganjar Kurnia menjadi sebuah karya musik merupakan sebuah tantangan tersendiri. Keduanya sepakat untuk menghasilkan musik yang berbeda dari yang telah ada. Hasilnya, Ubun akan mencoba menampilkan karya-karya Ganjar dengan empat warna musikal lagu Sunda yang berbeda.
“Ini pekerjaan yang menantang buat saya. Rumpaka ciptaan Ganjar ini sedikit berbeda, tidak biasa tepatnya. Saya memutuskan untuk mencoba empat karakter warna dalam lagu-lagu ini,” tutur Ubun menggunakan bahasa sunda.
Sedikitnya ada sekitar 10 lagu yang nanti akan dimainkan dalam pementasan nanti. Judul lagu-lagu tersebut diantaranya, Kun Fayakun, Adzan Mungaran, Rosul Pinilih, Warta Ti Sidratul Muntaha, Qiyamah, Sakaratul Maot, Titis Tulis Tobat dan berbagai judul lainnya. Kesemua lagu besutan duet Ubun dan Ganjar tersebut akan dinyanyikan oleh beberapa penyanyi tembang-tembang sunda.
Ditanyai mengenai kemungkinan untuk memproduksi lagu-lagu tersebut dalam bentuk kaset, Ganjar mengatakan akan mempertimbangkan hal tersebut.  Menurutnya selama ini, antusias terhadap karya-karyanya cukup baik, jadi berpeluang untuk dilempar kepasaran.
“Sebenarnya pasar untuk lagu-lagu ini telah ada. Mungkin nanti untuk awal akan dibuat 1.000 eksemplar dulu untuk percobaan. Tapi inti dari semuanya ini adalah syiar apa yang terkandung didalam syair lagu-lagu ini, “ pungkas Ganjar. (eh)*

KOMUNITAS Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung bekerja sama dengan tabloid Sunda Galurapada Jumat malam ini (30/9) akan meluncurkan sekaligus menggelar konser tembang Sunda kreasi baru yang diberi nama “tembang bandungan”, hasil kreasi seniman karawitan Ubun Kubarsah R., di Pendopo Kota Bandung, Jln. Dalem Kaum, Bandung. Acara tersebut didukung oleh penembang Neneng Dinar dan Ujang S. Pria, serta sejumlah pangrawit seperti Gun Gunawi, Iwan Mulyana, Yusdiana, Galih Gustamijaya, Deni Rachman, dan Yadi Cahyadi.
Diksi bandungan itu sendiri, kata Ubun Kubarsah dalam percakapannya dengan “PR”, Rabu malam (28/9) di Jln. Gamelan No. 21 Bandung, mengandung dua pengertian. Pertama, ia bisa merujuk kepada nama Bandung itu sendiri yakni berasal dari Bandung, seperti cianjuran berasal dari Cianjur. Kedua, makna bandungan di dalam bahasa Sunda artinya adalah ngaregepkeun.
“Kalau dalam bahasa Indonesia artinya adalah mendengarkan, dalam pengertian dihayati dengan hati dan pikiran yang jernih. Jadi bukan asal mendengarkan semata-mata.
Di dalam tembang bandungan, kita akan mendengar bentuk melodi vokal yang tidak menggunakan dominasi dongkari (ornamen) sebagaimana yang kita dengar dalam tembang Sunda cianjuran. Ornamen pada kontur melodi dalam tembang bandungan sangat sederhana, digunakan hanya untuk menajamkan sentuhan rasa pada bagian-bagian tertentu saja. Untuk itu, dalam tembang bandungan tidak akan kita temukan pola-pola lagu sebagaimana yang terdapat dalam tembang Sunda cianjuran, entah itu dalam wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan.
Struktur lagu dan kontur melodi dalam tembang bandungan benar-benar baru. Hal ini antara lain terlihat pada adanya pengaruh vokal seriosa dan kawih belukan, serta teknik-teknik vokal lainnya yang dikreasi oleh Ubun Kubarsah R. Namun, dalam pola penyajiannya ada pola garapan yang sama dengan tembang Sunda cianjuran yakni setelah mamaos selalu dipungkas oleh panambih. Nah, di dalam tembang bandungan setelah mamaras selesai dipungkas oleh panganteb.
Menurut Ubun, dalam peluncuran tembang bandungan kali ini, lirik-lirik lagu yang dipakainya bukan karyanya sendiri, tetapi ditulis oleh penyair Eddy D. Iskandar, Zahir Zachri, dan Ganjar Kurnia. Lirik-lirik(rumpaka) yang dipakainya itu lebih berupa puisi bebas, yang penulisannya tidak terikat oleh guru lagu(rima dan ritme).
Dalam tembang Sunda cianjuran puisi bebas yang dipakai rumpaka itu hanya terdapat dalampanambih, sedangkan pada lagu-lagu pokok (mamaos) guru lagunya benar-benar sudah diperhitungan dengan pola vokal masing-masing wanda, entah itu wanda rarancagan atau jejemplangan. Sebagai contoh, dalam tembang Sunda cianjuran, untuk mamaos “Mupu Kembang” kita bisa lihat di bawah ini bagaimana ketatnya guru lagu itu dalam setiap larik rumpaka tersebut yang dibangun oleh delapan (8) suku kata, entah siapa penulisnya.  

bur burinyay bar baranyay
siga bentang kabeurangan
siga ci ibun maruntang
horeng dewata keur leumpang
dewa nyatana manusa
Dewi Asri tanding leuwih 
Sedangkan dalam rumpaka (lirik lagu) tembang bandungan tidak demikian, seperti petikan di bawah ini dari paragraf pertama puisi “Hanjakal”, yang ditulis oleh Zahir Zachri:  

hanjakal silib teh leungiteun
harti
bongan teu diudag ku pangarti
hanjakal siloka teu timu rasa
bongan teu boga rasa rumasa 
Pola lirik yang tidak beraturan suku katanya ini dalam tembang bandungan, sekali lagi sama dengan pola lirik yang terdapat dalam panambih yang bebas itu.
“Apa sebab saya meluncurkan tembang bandungan, karena saya melihat bahwa tembang Sunda cianjuran sudah tidak mungkin dikreasi lagi. tembang itu sudah mapan. Bila kita mengkreasinya, salah-salah malah merusaknya. Nah, agar tidak merusak saya hanya mengambil roh atau esensi dari tembang cianjuran yang bertitik tolak pada mamarasnya saja, yakni sedikit menggunakan dongari dalam pola vokalnya, sedangkan dalam pola tabuhannya jelas beda,” tuturnya.
Adapun waditra (alat musik) yang digunakan dalam tembang bandungan adalah kacapi indung, kacapi mayung (waditra baru yang diciptakan oleh Ubun Kubarsah R dan teman-temannya di Dasentra),kacapi rincik, dan biola. Sedangkan dalam tembang Sunda cianjuran waditra yang dipakai biasanya hanya terdiri dari kacapi indungkacapi rincik, dan suling. Kadang-kadang sebagian orang ada juga suka menyertakan rebab.
**
DIKATAKAN Ubun Kubarsah R., kreasi tembang bandungan tidak lahir begitu saja. “Bertahun-tahun saya melakukan eksprimentasi dengan teman-teman di Dasentra. Hanya saya baru memublikasikannya secara luas kali ini, setelah mendapat dukungan dari sejumlah pakar karawitan yang mengatakan bahwa apa yang saya kreasi ini baru. Para pakar yang mendukung saya itu antara lain Deni Hermawan serta beberapa teman lainnya, seperti Heri Herdini,” jelas Ubun.
Lahirnya tembang bandungan setidaknya telah menambah perbendaharaan baru dalam dunia seni tembang di tatar Sunda, setelah tembang Sunda cianjuran, cigawiran, ciawian, serta beluk dan kawih. Bahkan dalam bentuk yang baru ini, seniman karawitan Nano S. telah pula berhasil memadukan Kawih dan tembang Sunda cianjuran dalam bentuk kreasi baru yang diberi nama Kawih tembang alias Katem.
“Seni tradisi kita memang kaya dengan alat-alat musik (waditra). Begitu juga dengan pola-pola lagu yang dilantunkannya. Hanya masalahnya sekarang, akan seperti apa kita mengembangkannya,” kata Nano S. beberapa waktu lalu.
Lepas dari semua itu, karena tembang bandungan dalam pola garapannya bertitik tolak dari puisi Sunda, maka ia pada satu sisi bisa saja dikelompokkan ke dalam kategori musikalisasi puisi ala Sunda yang dibawakan dalam bentuk tembang. Paling tidak, demikianlah tembang bandungan telah dikreasi oleh Ubun Kubarsah R. bersama teman-temannya di Dasentra, Bandung. (Soni Farid Maulana/”PR”)*** Tembang Bandungan tak Asal Didengar, Pikiran Rakyat, Jumat, 30 September 2005

album Asa Cikeneh

KULU KULU BENTANG MIDANG  Lagu – Rumpaka Cipt : Ubun Kubarsah
ASA CIKENEH – Lagu cipt : Ubun Kubarsah – Rumpaka : Enip Sukanda P.
JEMPLING PEUTING – Lagu – Rumpaka Cipt : Ubun Kubarsah
TEPUNG DI PANGGUNG – Lagu – Rumpaka Cipt : Ubun Kubarsah
TONGGERET MANING – Lagu – Rumpaka Cipt : Ubun Kubarsah
BULAN SAPASI – Lagu cipt : Gugum Gumbira  – Arr. Vokal : Ubun Kubarsah
TEUTEUP JEUNG IMUT – Lagu cipt : Nano S. – Arr. Vokal : Ubun Kubarsah
R U S R A S – Lagu cipt : Ubun Kubarsah – Rumpaka : Zahir Zachri
HIJI CATETAN – Lagu cipt : Entang Karnakasungka  – Arr. Vokal : Ubun Kubarsah
CELEMPUNG BANDUNG ( Jingle ) - Cipt : Ubun Kubarsah