KOMUNITAS Daya Seni Tradisi Sunda (Dasentra) Bandung bekerja sama dengan tabloid Sunda Galurapada Jumat malam ini (30/9) akan meluncurkan sekaligus menggelar konser tembang Sunda kreasi baru yang diberi nama “tembang bandungan”, hasil kreasi seniman karawitan Ubun Kubarsah R., di Pendopo Kota Bandung, Jln. Dalem Kaum, Bandung. Acara tersebut didukung oleh penembang Neneng Dinar dan Ujang S. Pria, serta sejumlah pangrawit seperti Gun Gunawi, Iwan Mulyana, Yusdiana, Galih Gustamijaya, Deni Rachman, dan Yadi Cahyadi.
Diksi bandungan itu sendiri, kata Ubun Kubarsah dalam percakapannya dengan “PR”, Rabu malam (28/9) di Jln. Gamelan No. 21 Bandung, mengandung dua pengertian. Pertama, ia bisa merujuk kepada nama Bandung itu sendiri yakni berasal dari Bandung, seperti cianjuran berasal dari Cianjur. Kedua, makna bandungan di dalam bahasa Sunda artinya adalah ngaregepkeun.
“Kalau dalam bahasa Indonesia artinya adalah mendengarkan, dalam pengertian dihayati dengan hati dan pikiran yang jernih. Jadi bukan asal mendengarkan semata-mata.
Di dalam tembang bandungan, kita akan mendengar bentuk melodi vokal yang tidak menggunakan dominasi dongkari (ornamen) sebagaimana yang kita dengar dalam tembang Sunda cianjuran. Ornamen pada kontur melodi dalam tembang bandungan sangat sederhana, digunakan hanya untuk menajamkan sentuhan rasa pada bagian-bagian tertentu saja. Untuk itu, dalam tembang bandungan tidak akan kita temukan pola-pola lagu sebagaimana yang terdapat dalam tembang Sunda cianjuran, entah itu dalam wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan.
Struktur lagu dan kontur melodi dalam tembang bandungan benar-benar baru. Hal ini antara lain terlihat pada adanya pengaruh vokal seriosa dan kawih belukan, serta teknik-teknik vokal lainnya yang dikreasi oleh Ubun Kubarsah R. Namun, dalam pola penyajiannya ada pola garapan yang sama dengan tembang Sunda cianjuran yakni setelah mamaos selalu dipungkas oleh panambih. Nah, di dalam tembang bandungan setelah mamaras selesai dipungkas oleh panganteb.
Menurut Ubun, dalam peluncuran tembang bandungan kali ini, lirik-lirik lagu yang dipakainya bukan karyanya sendiri, tetapi ditulis oleh penyair Eddy D. Iskandar, Zahir Zachri, dan Ganjar Kurnia. Lirik-lirik(rumpaka) yang dipakainya itu lebih berupa puisi bebas, yang penulisannya tidak terikat oleh guru lagu(rima dan ritme).
Dalam tembang Sunda cianjuran puisi bebas yang dipakai rumpaka itu hanya terdapat dalampanambih, sedangkan pada lagu-lagu pokok (mamaos) guru lagunya benar-benar sudah diperhitungan dengan pola vokal masing-masing wanda, entah itu wanda rarancagan atau jejemplangan. Sebagai contoh, dalam tembang Sunda cianjuran, untuk mamaos “Mupu Kembang” kita bisa lihat di bawah ini bagaimana ketatnya guru lagu itu dalam setiap larik rumpaka tersebut yang dibangun oleh delapan (8) suku kata, entah siapa penulisnya.  

bur burinyay bar baranyay
siga bentang kabeurangan
siga ci ibun maruntang
horeng dewata keur leumpang
dewa nyatana manusa
Dewi Asri tanding leuwih 
Sedangkan dalam rumpaka (lirik lagu) tembang bandungan tidak demikian, seperti petikan di bawah ini dari paragraf pertama puisi “Hanjakal”, yang ditulis oleh Zahir Zachri:  

hanjakal silib teh leungiteun
harti
bongan teu diudag ku pangarti
hanjakal siloka teu timu rasa
bongan teu boga rasa rumasa 
Pola lirik yang tidak beraturan suku katanya ini dalam tembang bandungan, sekali lagi sama dengan pola lirik yang terdapat dalam panambih yang bebas itu.
“Apa sebab saya meluncurkan tembang bandungan, karena saya melihat bahwa tembang Sunda cianjuran sudah tidak mungkin dikreasi lagi. tembang itu sudah mapan. Bila kita mengkreasinya, salah-salah malah merusaknya. Nah, agar tidak merusak saya hanya mengambil roh atau esensi dari tembang cianjuran yang bertitik tolak pada mamarasnya saja, yakni sedikit menggunakan dongari dalam pola vokalnya, sedangkan dalam pola tabuhannya jelas beda,” tuturnya.
Adapun waditra (alat musik) yang digunakan dalam tembang bandungan adalah kacapi indung, kacapi mayung (waditra baru yang diciptakan oleh Ubun Kubarsah R dan teman-temannya di Dasentra),kacapi rincik, dan biola. Sedangkan dalam tembang Sunda cianjuran waditra yang dipakai biasanya hanya terdiri dari kacapi indungkacapi rincik, dan suling. Kadang-kadang sebagian orang ada juga suka menyertakan rebab.
**
DIKATAKAN Ubun Kubarsah R., kreasi tembang bandungan tidak lahir begitu saja. “Bertahun-tahun saya melakukan eksprimentasi dengan teman-teman di Dasentra. Hanya saya baru memublikasikannya secara luas kali ini, setelah mendapat dukungan dari sejumlah pakar karawitan yang mengatakan bahwa apa yang saya kreasi ini baru. Para pakar yang mendukung saya itu antara lain Deni Hermawan serta beberapa teman lainnya, seperti Heri Herdini,” jelas Ubun.
Lahirnya tembang bandungan setidaknya telah menambah perbendaharaan baru dalam dunia seni tembang di tatar Sunda, setelah tembang Sunda cianjuran, cigawiran, ciawian, serta beluk dan kawih. Bahkan dalam bentuk yang baru ini, seniman karawitan Nano S. telah pula berhasil memadukan Kawih dan tembang Sunda cianjuran dalam bentuk kreasi baru yang diberi nama Kawih tembang alias Katem.
“Seni tradisi kita memang kaya dengan alat-alat musik (waditra). Begitu juga dengan pola-pola lagu yang dilantunkannya. Hanya masalahnya sekarang, akan seperti apa kita mengembangkannya,” kata Nano S. beberapa waktu lalu.
Lepas dari semua itu, karena tembang bandungan dalam pola garapannya bertitik tolak dari puisi Sunda, maka ia pada satu sisi bisa saja dikelompokkan ke dalam kategori musikalisasi puisi ala Sunda yang dibawakan dalam bentuk tembang. Paling tidak, demikianlah tembang bandungan telah dikreasi oleh Ubun Kubarsah R. bersama teman-temannya di Dasentra, Bandung. (Soni Farid Maulana/”PR”)*** Tembang Bandungan tak Asal Didengar, Pikiran Rakyat, Jumat, 30 September 2005

No comments:

Post a Comment